November 4, 2024

informasi sekitar kita

REAKTUALISASI KEBUDAYAAN, PENYAIR MELIHAT INDONESIA

TANGERANG,SATELITKOTA.COM – Pandangan 76 penyair dari 34 provinsi yang disampaikan Wardjito Soeharso, Ketua TIM Perumus TISI, kebudayaan dalam arti luas mencakup semua dinamika kehidupan manusia dengan hasil karyanya. Secara sederhana, budaya bisa diartikan semua karya cipta manusia dari hasil olah pikir dan rasa. Sebagai hasil olah pikir dan rasa, bentuk atau wujudnya berupa karya nyata (konkrit) dan tidak nyata (abstrak). Karya teknologi dalam berbagai bentuk adalah karya nyata (konkrit) yang dapat secara langsung disentuh oleh indera. Sedang konsep-konsep pemikiran seperti filsafat dan pengetahuan adalah karya abstrak, yang untuk memahaminya juga hanya bisa dengan kemampuan berpikir otak. Karya budaya (konkrit dan abstrak) adalah bukti nyata peradaban yang sudah berhasil dibangun oleh manusia pada jamannya. Maka, ketika kita bicara tentang kebudayaan, kita berbicara tentang budaya dan peradaban.

Lanjutnya, kebudayaan Bangsa, tidak terlepas dari pemahaman nilai-nilai yang kita akui sebagai benar dan baik. Dalam konteks nilai-nilai kebangsaan, founding fathers sudah merumuskan lima nilai dasar yang sungguh luar biasa maknanya: Pancasila. Lima nilai dasar di dalam Pancasila inilah yang semestinya menjadi dasar pembentukan karakter manusia Indonesia. Para founding fathers sangat maklum sifat dasar kekuasaan yang cenderung korup dan melampaui batas. Maka, Pancasila dirumuskan sebagai panduan arah menuju cita-cita bangsa yang besar, bermartabat, dan berbudaya.

Tetapi, faktanya, konsep nilai sebagus Pancasila ternyata belum mampu membangun kesadaran bersama bahwa nilai-nilai itu harus menjadi acuan utama dalam pembelajaran untuk membangun manusia Indonesia. Yang terjadi justru paradoks. Sikap dan perilaku kita masih jauh dari nilai-nilai itu, bahkan bila boleh jujur, banyak hal yang kontra-nilai yang kita perlihatkan secara sengaja dalam penampilan dan perilaku keseharian.

Sedangkan jiwa nasionalisme semakin luntur tergerus oleh universalisme. Jiwa spiritualisme terus menguap hilang digantikan dengan materialisme dan hedonisme. Semakin lama bangsa kita seperti semakin jauh dari karakter harapan manusia Indonesia.  Semangat spiritualitas berubah menjadi nafsu pamer kekayaan dan kemewahan. Pikiran dan perilaku koruptif sebagai akibat gaya hidup materialistis dan hedonistis, telah membawa bangsa ini terjerumus ke dalam jurang gelap korupsi di semua lini. Dari yang paling atas sampai yang paling bawah sudah tak terhindarkan lagi dari penyakit korupsi, paparnya.

“Budaya boleh disebut sebagai satu proses yang terus berkembang dan berubah untuk menjadi. Menjadi dengan arah dua cabang jalan alternatif. Yang satu arah menuju perkembangan yang benar dan lebih baik. Sedang arah yang lain menuju perkembangan yang salah dan lebih buruk. Saat ini, kita melihat arah perkembangan budaya kita justru melenceng ke alternatif yang salah dan lebih buruk, ucap Wardjito kepada awak media, (15/8/2021).

Menurutnya lagi, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah lepas dari tekanan. Sejak abad pertengahan sejarah mencatat banyak bangsa asing yang tertarik datang ke wilayah nusantara dengan dalih dan motif ingin menguasai.

“Ya, kekuasaan memang salah satu nilai budaya yang terus menjadi obsesi manusia. Kekuasaan selalu menunjukkan kekuatan dan kehebatan. Bangsa Cina sudah mencoba melakukan invasi sejak jaman Kerajaan Kediri. Bangsa Eropa sudah datang dan membangun hegemoni kekuasaan sejak Majapahit mulai runtuh. Kedatangan bangsa-bangsa asing itu telah mengubah cara berpikir dan bersikap bangsa pribumi, sekaligus mempengaruhi budaya dan karya budaya (peradaban) yang mengikutinya,” jelasnya.

Lanjutnya, bangsa kita sudah terlanjur diwarisi pemahaman bahwa kekuasaan itu adalah panggung politik. Kekuasaan harus diselenggarakan dengan pendekatan politik. Dan politik tidak pernah lepas dari intrik. Sehingga ada yang mempersepsikan politik itu kotor, karena orientasinya selalu pada hasil. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, berbagai cara boleh dilakukan, meskipun dengan cara kotor sekali pun. Politik melihat niali-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, hanyalah sesuatu yang perlu diketahui (something to know), bukan sesuatu yang harus dijalani (something to do). Inilah kata-kata emas J.F. Kennedy dalam pidatonya di depan Civitas Academica Harvard University (1956): “If more politicians knew poetry, and more poets knew politics, I am convinced the world would be a little better place to live.” Jika ada lebih banyak politisi mengenal puisi, dan ada lebih banyak penyair mengenal politik, saya yakin dunia ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik untuk hidup. Tetapi, di sini kata-kata J.F. Kennedy ini dipelintir dengan terjemahan menjadi: “jika politik kotor, puisi yang membersihkan.” Kata-kata Kennedy ini seakan hanya ingin menegaskan, bahwa negara dan kekuasaan sebagai panggung politik telah kehilangan warna dan rasa kemanusiaannya.

Pendekatan politik semacam ini dilakukan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang. Pendekatan politik dan kekuasaan sangat dominan, sehingga semua persoalan negara dan bangsa harus dilihat dari kacamata politik dan kekuasaan. Akibatnya, selalu muncul kekerasan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Intrik-intrik politik untuk mempertahankan kekuasaan selalu mengakibatkan polarisasi yang tajam di antara kekuatan yang pro dan kontra. Negara terlalu sibuk dengan urusan politik dan kekuasaan sehingga negara lupa bahwa aset terbesar negara dan bangsa adalah manusia. Manusia (rakyat) yang terus berpikir dan merasakan sesungguhnya pemeran budaya yang sangat menentukan karakter negara dan bangsa.

“Menyikapi perkembangan dinamika perjalanan bangsa ini, kami 76 penyair melihat Indonesia ke depan dengan penuh rasa sedih dan prihatin. Pada 17 Agustus 2021, bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke 76 negeri tercinta Indonesia, kami 76 penyair dari 34 provinsi, mengajak semua pihak kembali membangun kesadaran bersama dengan sejenak berkontemplasi. Mari kita melihat ke belakang mengenang kebaikan-kebaikan para founding fathers yang telah mewariskan negeri ini kepada kita. Mari kita menelusuri kembali jejak perjalanan bangsa dengan mencermati naik turunnya dinamika kehidupan berkebudayaannya. Tentu, kita sepakat bahwa warisan nilai-nilai pembangun karakter budaya bangsa kita sesungguhnya adalah nilai-nilai adiluhur yang mampu terus mengikuti perubahan dan perkembangan jaman,” pintanya.

Kata Wardjito Soeharso untuk itu, semangat kembali kepada nilai-nilai adiluhur itu perlu dan mendesak kita gaungkan kembali. Semangat mereaktualisasi kebudayaan sepertinya menjadi alternatif solusi yang bisa menjanjikan. Kebudayaan kita sedang melenceng arah. Kewajiban kita, anak-anak negeri, untuk meluruskan kembali ke arah yang benar.

“Seperti apa reaktualisasi kebudayaan, konsep dasar dan wujud nyatanya perlu diskusi lebih lanjut untuk merumuskannya bersama. Paling tidak, kita pegang erat-earat esensinya: mengembalikan karakter bangsa sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan. Karakter cinta kasih pada negeri. Bentuknya memberi karena peduli, dedikasi atas nama penghormatan, penghargaan, dan pengabdian. Bukan seperti yang terjadi saat ini. Semangatnya meminta, bahkan bila perlu menjarah. Yang tampil karakter korupsi tanpa peduli nasib bangsa sendiri, ucapnya dengan penuh semangat.

Untuk diketahui, ada beberapa masalah yang sangat urgen untuk segera ditangani dengan serius. Masalah-masalah ini sepertinya menjadi titik pusat disharmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Masalah yang boleh kita sebut sebagai masalah budaya, karena masalah ini terus mengikuti gerak dinamika perjalanan negara dan bangsa. Masalah yang terus melekat dan mewarnai kehidupan negara dan bangsa dalam proses menjadi,” pungkas Wardjito. (MED)

Loading