SATELITKOTA – Kuda Lumping atau Kuda Kepang merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Tengah, atau pun DI Yogyakarta. Di tiga daerah ini, Kuda Lumping memiliki sebutan yang berbeda. Di Banyumas misalnya, masyarakat menyebutnya Ebek, di Yogyakarta Jathilan, dan di sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur orang menyebutnya Jaranan.
Seni Kuda Lumping atau Jathilan sendiri, masing-masing daerah memiliki ‘history’ yang berbeda, meskipun dengan latar belakang yang hampir sama, yaitu merefleksikan gagahnya pasukan berkuda atau kaveleri tempo dulu.
Di daerah Jawa Tengah, kesenian ini lebih pada menggambarkan sejarah Aryo Penangsang dan Sultan Hadiwijoyo, sehingga salah satu replika kuda yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa digunakan untuk menari, salah satunya diberi nama Gagak Rimang. Kuda Gagak Rimang ini adalah kuda yang digunakan sebagai kendaraan oleh Haryo Penangsang kala itu.
Namun, di daerah Jawa Timur, kesenian ini memiliki ‘history’ bagian dari salah satu peristiwa di Kerajaan Singosari. Dimana di dalamnya adalah kisah tentang Pangerang Klonosewandono, Dewi Songgolangit, dan Patih Pujang Ganong, yang kemudian dikemas menjadi rangkaian dari atraksi seni Reog Ponorogo.
Nah, bicara soal kesenian tradisional yang satu ini, tidak lepas dari sisi magic, serta ketrampilan khusus dari para pemainnya. Karena, selain harus piawai dan mengedepankan nilai-nilai estetika dalam membawakan tarian, penari kuda lumping harus memiliki mental yang super berani. Dan, pada saat mencapai titik puncak dalam mendalami tarian ini, si pemain bisa terbawa sugesti hingga sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri. Hal inilah yang disebut dengan istilah kesurupan.
“Kalau istilah di kita itu, jingkrak sak polahe, yaitu berjoget sesuka hati. Tapi tetap mengedepankan nilai-nilai estetika dalam berkesenian,” ujar Pak Panjul, salah seorang praktisi seni Kuda Lumping asal Magelang-Jawa Tengah, yang saat ini mengembangkan seni Kuda Lumping di Tangerang.
Istilah kesurupan sendiri, menurut Pak Panjul, merupakan bagian dari rangkaian seni Kuda Lumping yang menggambarkan keberanian, dan seni olah kanuragan para tentara berkuda yang pantang menyerah dan siap tempur di medan laga kala itu. Kesenian Kuda Lumping ini juga sarat akan pesan moral dalam kehidupan.
Erdiyanto
Naskah ini pernah ditulis di lensapena.id pada 6 April 2018.
BERITA TERKAIT
KOMITE SASTRA DKT: WAKTUNYA MEMBACA DAN MENULISKANNYA
FESDRAK: Konsistensi Ajang Prestasi yang Jadi Tradisi
‘Kebun Puisi’ Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Tangerang