TANGERANG,SATELITKOTA.COM – Melihat lebih dekat bentuk tata cara adat budaya jawa di tanah Banten, Tangerang khususnya. Acara yang begitu khas, menarik untuk diteliti dan agung. Karena, terdapat ritual-ritual juga yang bertujuan untuk kebahagiaan hidup baru kedua mempelai dalam menjalani rumah tangganya.
Menurut Dalang, KI Panji Waluyo, pada setiap praktik upacara adat dan tak terkecuali pada rangkaian pernikahan adat Jawa, para calon mempelai mungkin sudah tidak asing dan bahkan hafal setiap runtutan prosesi yang akan mereka jalani. Namun, jangan sampai mereka menjalani rangkaian prosesi adat yang telah turun temurun diwariskan tersebut tanpa mengerti makna di baliknya. Di bawah ini, beberapa rangkaian upacara pernikahan adat Jawa mulai dari acara jamas pasiraman (siraman), pemasangan bleketepe, pecah pamor, potong rambut, dodol dawet lepas ayam, dan lainnya dalam tradisi jawa penuh sarat makna.
Dalang KI Panji Waluyo, menjelaskan berbagai urutan prosesi pernikahan adat Jawa pada umumnya. Ia saya temui kebetulan sedang berlaku sebagai pronotocoro (penata acara adat jawa), makna dari upacara siraman katanya, untuk memandikan calon pengantin yang disertai niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni atau suci secara lahir dan batin.
Acara siraman ini menjadi salah satu rangkaian upacara pernikahan menurut adat istiadat Jawa. Dalam adat Jawa, air untuk siraman memang biasa diambil dari tujuh mata air atau sumur. Tujuh mata air, menurutnya dapat diambil dari mana saja, termasuk air zam-zam. Lokasi yang berbeda-beda itu menunjukkan dia restu dari banyak orang. Tujuh sumur bisa dari tetangga, dari masjid, dan sumber tempat lainnya. Artinya banyak doa restu dari tetangga kanan kirinya.
Siraman ini dimulai dari pundak kiri, kemudian pundak kanan, lalu bagian kepala dan badan sampai kedua kaki. Kata Panji sebagai simbol mulai dari yang buruk, lalu datang kebaikan, perasan dan langkah kaki sejalan dengan apa yang dipikirkan.
“Acara ini dilakukan sehari sebelum upacara ijab kabul. Kata siraman berasal dari kata siram atau adus yang berarti mandi,” ujarnya.
Pasalnya, menurut adat, upacara siraman dilaksanakan pada pagi hari antara pukul 10.00 sampai pukul 11.00. Namun dalam perkembangannya, acara siraman dilaksanakan pada sore hari, selepas Asar atau sekitar pukul 16.00.
Acara berlangsung khidmat di rumah kediaman mempelai wanita, Sherly Franscisca, di Perumahan Dasana Indah, Kabupaten Tangerang.
Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan bleketepe dari anyaman daun kelapa (janur) yang dipasangkan di gapura depan rumah sebagai penanda akan ada hajatan pernikahan.
“Bleketepe diambil dari kata Bale Katapi yang artinya kotoran dipilah untuk dibuang. Prosesi bleketepe merupakan simbol dari penyucian lokasi,” katanya.
Berikutnya yakni, Pecah Pamor merupakan rangkaian dari acara siraman. Orang tua memecah kendi, dengan harapan kata Panji, agar calon pengantin terlihat cantik layaknya rembulan. Setelah itu kemudian tradisi gendongan selepas siraman, ini memiliki arti bertanggung jawab atas orang tua pada anak perempuannya.
Selanjutnya pengantin wanita memotong sendiri rambutnya pada bagian ujung rambut dan atas rambut. Rambut yang telah dipotong itu kemudian ditanam di depan rumah mempelai wanita dengan maksud agar terhindar dari mara bahaya, “Dalam berlaku kehidupan sehari-sehari kedua mempelai ini mesti eling lan (selalu ingat) waspodo,” katanya kepada wartawan berita online satelitkota.com, (23/8).
Tahapan proses berikutnya Dodol dawet, kedua orang tua menyelenggarakan acara menjual dawet sebagai hidangan kepada para tamu undangan yang telah hadir menyaksikan prosesi yang telah berjalan. Tetapi, penjualan dawet ini tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan kreweng atau pecahan tembikar dari tanah liat sebagai tanda bahwa pokok kehidupan berasal dari bumi dan menyimpulkan bahwa segala sesuatunya yang ada di bumi sangatlah banyak manfaatnya. Di sini, sang ibu akan melayani para pembeli, sedangkan sang ayah akan memayungi sang ibu. Kemudian sang ayah akan menghitung penghasilan hasil jualan pesawatnya. Artinya adalah untuk memberikan contoh kepada anak-anaknya di kemudian hari bahwa mereka harus saling bergotong royong dalam membina rumah tangga.
Setelah itu acara Potong tumpeng, Tumpeng merupakan sajian nasi berbentuk kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditata mengelilinginya di atas nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu. Dalam ritual Jawa, kata Panji, tumpeng identik dengan simbol kemakmuran dan kesejahteraan karena bentuknya menyerupai gunung.
Disusuli dulangan (suap-suapan), prosesi suapan terakhir oleh ayah dan ibu kepada calon pengantin sebagai tanda tanggung jawab terakhir dari orang tua kepada anaknya yang akan menikah. Lalu dilanjutkan dengan pelepasan ayam dere yang menandai bahwa kedua orang tua telah mengikhlaskan anaknya hidup mandiri bagaikan seekor ayam yang sudah dapat mencari makanan sendiri. “Demikian seluruh prosesi pernikahan adat Jawa beserta makna-makna tersiratnya. ,” pungkas Panji.(MED)
BERITA TERKAIT
FESDRAK: Konsistensi Ajang Prestasi yang Jadi Tradisi
‘Kebun Puisi’ Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Tangerang
Bincang Budaya Melahirkan Pemajuan Kebudayaan Daerah