Oleh Medy Kesesi
Seniman Teater
SATELITKOTA.COM – Kegiatan apresiasi Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) ke- VIII tahun 2013 di Propinsi Banten adalah suatu forum kerjasama regional antar daerah yang saling berbatasan dalam upaya meningkatkan penanganan permasalahan baik bidang pemerintahan maupun pembangunan, termasuk bidang kebudayaan dan pariwisata.
Karena saya anggap penting, maka sedikit saya akan berbagi cerita mengenai kegiatan acara tersebut dari awal hingga akhir. Dimulai dari acara ramah-tamah para peserta. Mereka berkumpul, bertemu dan dijabattangankan bersinergi bersama sastrawan, teknokrat, dan birokrat dari sepuluh kota di Indonesia yaitu Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Pertemuan antar kota, antar provinsi ini menjadi ajang silaturahmi, saling bertukar pikir. Tentunya, dengan harapan dapat menghasilkan kekuatan besar yang sempurna, saling mengisi, dan saling melengkapi masing-masing kelemahan suatu daerah.
Di tengah kondisi saat ini yang mendekati disorientasi jatidiri: tawuran pelajar atau mahasiswa, tawuran antar kampung, amuk masa, pengadilan jalanan, dan berbagai penyimpangan lainnya, adalah sebagai akibat dari melemahnya “rasa budi dan daya” sebagian masyarakat kita. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi kita untuk mengembalikan kearah yang sesuai dengan jatidiri sebagai bangsa yang terkenal keramahtamahannya.
Dunia sastra adalah dunia akal budi, dunia untuk mengasah ketajaman orientasi kesadaran indrawi universal yang hakiki. Untuk itu, sastrawan diharapkan dapat dijadikan sebagai motor penggerak dan pengawal pembangunan di daerahnya masing-masing yang pada gilirannya dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa secara global. Pesan kesepakatan ini yang akan menjadi kunci bagi pembangunan daerah-daerah di sepuluh kota di Indonesia.
Pertemuan yang tidak hanya sekadar menghasilkan gagasan, tetapi sudah berbuat sesuatu, berbuat untuk memberikan manfaat bagi daerah masing-masing. Inilah yang menjadi nilai kesepakatan bagi ke sepuluh provinsi anggota MPU, untuk menjadi barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Baik dari edukasi maupun praktik kesusastraan. Dengan melalui karya sastra kita angkat nilai-nilai luhur kearifan lokal sebagi jati diri bangsa. Menjadi landasan yang kuat dalam mengisi pembangunan sehingga kita menjadi bangsa dan negara yang kuat seutuhnya, baik secara mental, material maupun spiritual.
Sebagai pribadi yang mewakili Kota Tangerang tentu senang bisa mengikuti kegiatan Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) ke-VIII. Sebagai catatan, bahwa Temu Sastrawan (MPU) ke-I dimulai pada tahun 2005 dan dilaksanakan di Provinsi Banten. Forum ini dibentuk sebagai wadah kerjasama pemerintah dan pembangunan antar daerah yang saling berbatasan. Selain itu, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) ke-VIII ini diharapkan dapat menghasilkan gagasan sekaligus strategi upaya meningkatkan kerja sama kebudayaan khususnya kesusastraan yang bisa diakses oleh semua pemangku kepentingan: pendidikan, pariwisata, dania usaha atau industri, dan lainnya.
Oleh karenanya pertemuan semacam ini bagi saya sangat penting manakala kita menginginkan generasi penerus bangsa ini “melek sastra.” Kegiatan sastra harus menjadi kegiatan yang patut mendapat apresiasi dari kita semua, agar kehidupan berkesusastraan tidak mati suri. Karena sastra tidak hanya diajarkan sebagai pengetahuan semata, tetapi harus diapresiasi secara utuh, karena di dalamnya terkandung unsur-unsur dan nilai moral yang tinggi. Inilah tantangan berikutnya sebagi penggiat sastra dan bagi kita semua yang menginginkan kehidupan masa depan menjadi lebih bermakna, bagaimana “membumikan sastra.”
Keragaman budaya di Banten memang berbeda dengan daerah-daerah lain, Banten yang memiliki kekhasnya sendiri maka saat itu dipilihlah tema “Mistisisme dalam Kesusastraan Indonesia” tema ini dipilih tidak terlepas dari upaya untuk mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur Banten” sebagai tuan rumah. Mistisisme di sini tidak diartikan sinkretis secara sempit, tetapi lebih kepada bentuk perwujudan dalam ragam khasanah dan kehidupan budaya maryarakat. Di sinilah tantangannya sebagai lahan garapan untuk terus diteliti dan dikaji secara ilmiah.
Kegiatan Sastra dan Promosi Wisata Budaya
Keberadaan forum temu sastrawan dapat pula menjadi ajang promosi bagi seluruh provinsi. Anggota MPU yang hadir untuk saling memperkenalkan keunggulan budaya dan destinasi wisata dari masing-masing provinsi. Baiklah mari kita bahas ramai-ramai promosi wisata dalam kegiatan Temu Sastrawan MPU ke VIII ini, pertama yang dimaksud dengan Pariwisata Budaya adalah Pariwisata yang berkonotasikan industri dangan motivasi mencari untung dari suatu kegiatan usaha ekonomi, dalam hal ini diharapkan agar justru tidak sampai merugikan kabudayaan masyarakat di tujuan wisata. Dan tidak memanfaatkan seni sebagai sekadar komoditi dalam lingkup industri pariwisata.
Dengan mengingat bahwa asal mulanya manusia berwisata itu adalah dorongan budaya, kiranya kini layak kalau diinginkan agar pariwisata hendaknya bernafaskan budaya, dengan sekaligus sedikit demi sedikit menanamkan kebiasaan dan perilaku berbudaya pada yang terlibat dan bertanggung jawab dalam proses perkembangan dan pembangunan pariwisata, dalam arti yang luas. Siapakah sebenarya yang punya daerah tujuan wisata, siapakah pula pemiliknya: apakah masyarakat setempat, apakah pemerintah daerah yang bersangkutan, apakah industri tourisme, ataukah justru para wisatawan yang karena kerasannya sang tamu berperilaku seperti tuan rumah ditempatya orang lain?
Kini berwisata sudah menjelma sebagai sesuatu yang mutlak atau perlu dalam kebutuhan kehidupan manusia, dan dalam setiap paket program perjalanan wisata selalu akan ada terselip acara-acara seni budaya, betapapun mungkin masih dirasakan dangkal penyajiannya. Maka tidak heranlah kita menghadapi pemeo yang akhir-akhir ini tambah bergema, bahwa tiadalah pariwisata tampa budaya. Kalau di lingkungan industri pariwisata sendiri sudah mulai prihatin terhadap situasi-situasi yang menyudutkan aspek kehidupan berbudaya masyarakat yang terkena pariwisata, maka kita para teknokrat, birokrat, budayawan, dan seniman, lebih-lebih, hendaknya merasa terpanggil untuk tampil ke barisan depan dalam menghadapi ancaman pariwisata yang bisa membahayakan atau paling tidak merugikan budaya. Dengan harapan, agar oleh yang paling bertanggung jawab terhadapan pengembangan dan pelestarian mutu seni-budaya tertentu, dapat ditemukan jalan pemecahan sesimbiosis mungkin dalam “perang tanding” antara para antagonis yang sebenarnya merupakan suatu perang semu antar “sparing partners.”
Gagasan-gagasan dan usaha dengan maksud mengembangkan wisata budaya khusunya Banten terhadap pariwisata di atas, mari kita giatkan dan lancarkan demi menghasilkan kesadaran untuk melestarikan warisan budaya di Banten melalui karya sastra, di bidang kebudayaan maupun di bidang alam di seluruh provinsi dan kota anggota MPU terus dikembangkan, baik kebijaksanaan maupun pelaksanaannya mengenai Pariwisata Budaya ini.
Untuk sedekit menyederhanakan masalah, saya melihat pariwisata di Banten, dalam hal ini. sebagai suatu proses hubungan ke dua belah pihak dan yang berwisata, yang hendaknya saling isi mengisi dan lengkap-melengkapi satu sama lain, karena saling berkepentingan, yang memerlukan suatu interaksi antar budaya, bahkan antar peradaban yang (bisa jauh) berbeda satu sama lain.
Dua kutub yang saya maksudkan itu adalah di satu pihak tamu wisata, dari mana kita inginkan tamu-tamu untuk berdatangan, dan di pihak lain adalah yang ada di daerah wisata, yaitu pihak tuan rumah yang dikunjungi oleh wisatawan. Yang pertama adalah wisatawan, bisa asing bisa domestik, dan kedua adalah masyarakat-masyarakat dan atau “asset-asset” pariwisata di Banten lainnya yang menjadi daya tarik atau obyek wisata. Dan keduanya yang perlu di-‘garap’ adalah yang mengenal persepsi atau wawasan budaya masing-masing, yang harus saling disesuaikan dan diselaraskan atau satu sama lain, dan diprakondisikan mana dan apa yang dipandang perlu.
Oleh karenanya dalam hal ini dengan karya sastra, budayawan dan seniman mesti mampu mencipta mengubah kondisi tujuan wisata dengan akal budinya, terus mencari pasaran agar banyak wisatawan mengunjungi Banten dan sekitarnya. Demi tujuan menerapkan kebijaksanaan pariwisata-budaya yang membikin wisatawan kerasan.
Pada waktu itu, kegiatan pertemuan Sastrawan MPU VIII, di hari Jumat (15/11) Pukul 13.00. Peserta antri berbaris sambil menunjukan bukti kehadiran ke panitia kegiatan di salah satu Hotel. Semua berjumlah 70 orang perwakilan dari provinsi dan kota di Indonesia. Lalu masing-masing didaulat oleh panitia untuk membaca puisi. Sesudah itu diskusi bersama para pembicara yaitu Prof Dr Abdul Hadi WM, Radhar Panca Dahana, dan Prof. Dr HMA. Tihami.
Kesemerakan makin lengkap dengan penampilan tarian selamat datang Wali Jamaliyah. Penampilan berikutnya juga apik yaitu kelompok paduan suara oleh pelajar SMA Padeglang. Gubernur Banten yang dijadwalkan membuka acara sangat disayangkan, urung hadir. Hanya diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinti Banten dan Asisten Daerah Bidang Umum.
Baduy yang Gemulai
Mari kita nikmati indahnya pesona Baduy dari dekat dan berpetualang sejenak mempelajari nilai-nilai dari tradisi budaya masyarakat Suku Baduy. Dan tak lupa pulang bawa oleh-oleh cinderamata khas Baduy. Waktu sudah menunjukan pukul 16.00 WIB. Saya berserta peserta yang lain bersiap menuju tanah adat di Desa Kenekes atau orang Kenekes sesuai dengan nama wilayah atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang Cibeo. Posisi Kampung Baduy sendiri terletak di Provinsi Banten di Pulau Jawa bagian barat.
Kami tiba di lokasi Desa Ciboleger pada pukul 20.00 WIB. Empat jam perjalanan dari pusat kota Banten. Melewati jalanan yang terjal dan berkelok untuk sampai ke Tanah adat. Setibanya di Baduy waktu sudah malam, hujan sangat deras menguyur tanah basah. Gelap tidak ada penerangan listrik untuk masuk ke Kampung Baduy. Kami menyalakan obor agar bisa sampai menuju pondok-pondok rumah warga.
Mendengar kata Baduy segenap cakrawala persepsi kita muncul di alam pikiran, membayangkan sebuah komunitas suku pedalaman yang menyatu dengan alam dan menggunakan nilai-nilai adat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Orang Baduy amat bersahaja dalam hidup, bersahaja dalam memandang kehidupan.
Baduy dan aktivitas sehari-harinya sangat eksotis untuk dijadikan sebuah wacana yang menginspirasi kita dalam menjalani hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mereka bukan tidak tahu perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar atau perkembangan teknologi, numun justru mereka tidak ingin hanyut bersama arus. Artinya, keyakinan yang selama ini menjadi nilai-nilai yang mendamaikan dan memakmurkan kehidupan, tidak ingin mereka langgar.
Masyarakat suku Baduy meyakini bahwa mereka terlahir sebagai pancer bumi (pusat kehidupan). Menurutnya, bila keyakinan itu rusak maka rusaklah kehidupan. Tugas hidup bagi mereka adalah untuk tetap menjalankan sikap tulus dalam berbuat, berpikir positit, tidak mau mengganggu dan tidak mau diganggu. Pelihara alam maka alampun akan memelihara kita, itulah bagian dari keyakinan mereka.
Baduy yang merupakan masyarakat tradisional, mayoritasnya mengakui kepercayaan Sunda Wiwitan. Suatu kepercayaan yang mempercayai bagaimana menjadikan kehidupan yang mengandung nilai dalam berperilaku pada kehidupan yang mengagungkan kesederhanaan. ***
BERITA TERKAIT
DEWAN KESENIAN KOTA TANGERANG SUDAH SAATNYA MENGUBAH POSISI, PERAN, FUNGSI, DAN WEWENANGNYA
WINA ARMADA SUKARDI: PUISI DAN ANUGERAH MURI
Diskusi Sastra Ke-2: Menuju Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024